“Impas”
Malam kian larut. Cahaya bulan makin terang. Dalam sebuah kamar yang sederhana, seorang gadis tengah bicara sendiri sambil menatapi pas poto almarhum ayahnya. Dengan raut muka sedih ia sedikit terisak. Kata-kata dari mulut kecilnya bernada rendah namun bermakna tinggi. Di setiap kata yang ia lontarkan begitu penuh dengan arti.
“Ayah, hari ini gadismu ini ingin bercerita, mencurahkan apa yang aku alami. Hari ini aku sedih yah, namun juga senang. Aku sedih, menangis terisak. Barusan aku mendapat hal yang tak kuduga. Temanku yang kini begitu dekat dengan putrimu ini mendapat kata-kata yang membuat air mata putri kecilmu menetes. Aku tak mengerti, apa kata-kataku padanya terlalu keras hingga ia begitu nampak marah. Aku merasa dia sangat ingin menyalahkanku. Aku benar-benar terisak malam ini. Namun aku senang, aku senang karena aku merasa semua impas. Aku pernah merasa menyakitinya, dan kini aku merasa tersakiti olehnya. Aku tak canggung lagi, aku bisa bebas karena semua sudah impas. Yah, seandainya kau di sini sekarang, aku mungkin kan memelukmu erat, menangis di pangkuanmu dan mendapat nasihat darimu. Aku merindukanmu Yah”
Kesedihan begitu nampak dalam ruangan ini. Sebuah meja dengan pas poto dari almarhum sang ayah menjadi tempat sandaran untuk si gadis malam itu. Cahaya rembulan masuk melalui celah jendela memberi nuansa yang melankolis. Tiba-tiba tampak sesosok bayangan tinggi tegap berjanggut di belakang sang gadis. Bayangan itu mulai membelai rambut sang gadis yang membuatnya kaget dan langsung berbalik. “Ayah…!‼ ini Ayah?? Ayah di sini???” ucap sang gadis terheran. Dengan air mata bahagia yang ia memeluk bayangan itu. “Putriku, ini ayah, ayah di sini mendengarkan apa yang kau katakan selama ini. Kini ayah yang ingin bercerita dan bertanya padamu. Nak, apa yang kau sudah katakan pada temanmu hingga ia seperti marah? Apa yang kau perbuat sampai ia nampak kesal?? tanya bayangan itu pada si gadis sambil mendudukkan si gadis di kursi kayu tempat si gadis semula duduk. Dengan memegang tangan dari bayangan ayahnya, si gadis bercerita dengan lancarnya, “ayah, aku hanya ingin yang terbaik untuknya. Aku memag sedikit marah, memberinya nasehat untuk menjadi lebih baik. Aku katakan padanya bahwa ia bisa, aku ceritakan tentang seseorang yang sudah menyakitiku dulu dan kini sukses karena aku sering memarahinya, sukses menjadi orang yang lebih baik membanggakan orang tuanya karena aku selalu keras memberinya nasihat. Aku hanya ingin temanku seperti itu, bahkan aku ingin dia lebih baik darinya yang telah meninggalkanku. Tapi ia seperti menganggap apa yang ku katakan hanya bualan. Ia mematahkan semua kata-kataku, ia bahkan balik menasihatiku. Ia katakan bahwa apa yang ku ucap padanya sudah sangat sering ia dengar, ia ucapkan sendiri, dan ia tuliskan pada berlembar-lembar kertas. Aku benar-benar merasa tak dihargai yah, tapi tak apa, dulu aku merasa pernah menyakitinya dan kini aku merasa tersakiti olehnya‼! Sekarang semua impas‼! Aku tak…”, sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya, jari telunjuk dari bayangan sang ayah menyentuh bibir mungil sang putri.
“Sssttt…. Sudah cukup nak, sekarang ayah mau kau mempertimbangkan kata-kata ayah, kau katakan kau merasa impas karena kau merasa pernah menyakiti temanmu dan kini kau merasa tersakiti olehnya, lalu apa temanmu merasa tersakiti dan menyakitimu??? Kau mengatakan impas hanya untuk dirimu sendiri, tapi bagaimana dengan temanmu?. Ia sama sekali tak tau apa-apa. Kau katakan kau membuat orang mampu untuk berdiri dan menjadi lebih baik, lebih membanggakan, apa kau yakin hal itu karenamu??? Bukan karena memang orang itu berusaha? Ia hanya menemui kebanggaannya setelah kau keras padanya. Jadi belum tentu semua karenamu. Pikirkanlah nak, seperti yang kau sering ucap pada ayahmu ini, orang bisa berubah, segalanya bisa berubah. Orang bisa saja nampak tak pernah mau berusaha, nampak jelek tapi dalam dirinya ia ingin jadi yang terbaik.” Sang putri terdiam, memegang erat tangan bayangan ayahnya, sedikit demi sedikit bangkit lalu memeluk bayangan itu. Tapi yah, aku tak sedikitpun ingin menyakitinya, aku hanya ingin temanku menjadi baik. Aku hanya…” kembali sang ayah menghentikan kata-kata sang putri.
“Nak kini ayah akan bercerita padamu, kini waktunya ayah bicara setelah sekian lama ayah mendengarkan. Di sebuah kota ada seorang remaja yang orang tuanya kaya raya. Hidupnya berkecukupan, ayahnya punya posisi kuat di kotanya. Namun sayang ia selalu murung, merasa selalu bodoh, merasa tak mampu. Ia selalu menyalahkan orang tuanya yang memanjakannya dari kecil hingga sekarang menjadi orang tak punya kemampuan. Sampai pada suatu ketika hadir seorang wanita yang menghiasi hidupnya. Memberinya motivasi, semangat dan membuatnya bangkit. Ia mulai belajar, mulai keluar, dan bergelut dengan apa yang membuat ayahnya begitu penting di kotanya. Dengan segala dukungan dari orang-orang sekitarnya sang remaja akhirnya menjadi pribadi baru yang menggantikan posisi ayahnya. Ia menikah dengan dengan wanita yang datang mendampinginya dan memberinya motivasi untuk maju. Dan seperti di negeri dongeng, akhirnya mereka hidup bah…” “bahagia kan yah”, cela sang putri. “aku juga ingin menjadi wanita dalam ceritamu yah, itu yang ingin aku lakuk…”. “Nak diamlahlah, ini masih waktu ayahmu berbicara”, kata sang ayah sambil melepas pelukan putrinya dan mendudukkan kembali putrinya.
“Itu tadi cerita pertama ayah untukmu. Sekarang ayah akan ceritakan cerita kedua. Di sebuah padang pasir luas ada seekor burung pipit kecil yang hidup dengan sayap patahnya dan telah ditinggal oleh kawanannya mencari daerah yang lebih layak. Di sana juga ada seekor elang perkasa yang mampu terbang dengan cepat tanpa kenal lelah. Suatu hari disiang yang panas dengan terik mentari yang menyengat, burung pipit berjalan tak kenal lelah untuk sampai di daerah seberang yang lebih baik yang mampu memberi kehidupan yang lebih baik. Lalu Sang Elang menghampirinya, “Hai Pipit, kau begitu kuat, hebat tak kenal lelah, kenapa kau tak berusa terbang untuk lebih cepat sampai ke daerah itu tanpa harus kakimu melepuh karena panasnya pasir di sini”. “Terimaksih atas saranmu Elang, seandainya aku mampu terbang, aku akan terbang dan mungkin tak kan bertemu denganmu di sini, tapi kedua sayapku telah patah, aku tak mampu terbang”, jawab burung pipit. Lalu elang terbang meninggalkannya.
Setelah setengah kilometer berjalan, elang kembali dtang pada burung pipit, “Kau begitu kuat berjalan sejauh ini, kenapa Kau tak mencoba untuk terbang saja, coba kepakkan kedua sayapmu, aku yakin dengan kekuatanmu kau mampu terbang” kata elang menyemangati. Tertunduk burung pipit, “lihatlah elang, sayap kiriku setengahnya hilang, sayap kananku masih utuh namun setengahnya hanya membebaniku karena patah dan tak mampu kukendalikan, ia tak tak lagi terorganisir oleh otakku. Aku pernah ingin mematahkannya agar tak menjadi beban tapi aku takut dan masih merasa ia bagian dariku yang memberi kehangatan saat dingin menerpa”. Sang elang kembali terbang.
Tak lama berselang, Elang kembali menyapa burung Pipit, “Hai kawanku, cobalah kepakkan sayapmu, aku rasa kau bisa terbang. Kau heb…” belum selesai Elang bicara, burung pipit memotongnya. “Elang, jika Kau memang ingin membantuku kenapa kau tak bawa aku terbang bersamamu. Bawa aku ke tempat yang lebih baik, jangan kau hanya bicara‼!”. Elang hanya terdiam, menunduk tak mamu berkata-kata. Lalu dengan nada berat elang memberanikan diri mengajak pipit terbang bersamanya. “baik kawan, maafkan aku. Sekarang naiklah ke punggungku, aku kan membawamu terbang ke tempat di seberang sana”. “Terimakasih tawaranmu, tapi aku sudah berjalan sendiri sejauh ini mendengar ocehan liarmu. Jadi biarlah aku tetap berjalan, biar aku tentukan sendiri semua, aku akan sangat bangga jika aku mampu sampai ke seberang dan akan merasa terhormat mati dengan semua yang lakukan. Kalaupun aku terbang bersamamu belum tentu aku tak mendengar ocehan-ocehan darimu lagi, atau mungkin aku akan kau jatuhkan saat melihat kawananmu. Jadi terbanglah, aku tak apa di sini berjalan sendiri” jawab pipit dengan tegas dan meneruskan perjalanannya.
Elang tertunduk, merenung dan membiarkan pipit kembali berjalan sendiri. Beberapa menit berdiri di tengah padang pasir, akhirnya elang terbang kembali. Pikirkanlah cerita ayahmu, ayah sudah cukup bicara sekarang. Ayah akan kembali lagi nanti nak.”
Tiba-tiba sosok bayangan itu menghilang. Sang putri sedikit berteriak memanggil ayahnya. “ayahhh… kenapa kau pergi lagi. Aku di sini butuh ayah. Maafkan aku yah. Ayahhh… kembalilah, aku masih merindukanmu.” Sang putri tertunduk, merenung. Tak banyak kata, memikirkan cerita ayahnya. Malam kian larut. Bulan tertutupi awan. Cahaya yang masuk lewat celah jendela hilang. Semua begitu gelap. Sang putri akhirnya tertidur dalam kerinduan dan kediamannya.