Indonesia, negara yang dikenal kaya akan sumber
daya alamnya kini punya problematikanya sendiri. Sebagai negara yang mendapat
sebutan negara agraris, bisa kita bayangkan betapa melimpahnya hasil pertanian Indonesia.
Namun sudahkah hal tersebut benar-benar layak dan benar adanya? Sudahkah para
petani memiliki kehidupan yang sejahtera?
Nyatanya, tak semua petani berkehidupan sejahtera.
Bahkan banyak diantara mereka berada dalam area miskin. Tak jarang mereka menjual
sepetak demi sepetak tanah garapan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka yang tak lagi dapat terpenuhi dari hasil pertanian.
Sedikit kisah para petani di Dusun Berawah, Desa
Tukadsumaga, Kecamatan Gerokgak akan menunjukkan betapa miris keadaan pertanian
Indonesia. Memang tak cukup untuk menggambarkan keseluruhan dari keadaan total
pertanian Indonesia, namun cukup untuk mewakili kemerosotan yang terjadi.
Hingga saat ini, sebagian besar penduduk di dusun
ini adalah petani tadah hujan yang hanya mengandalkan air hujan sebagai
pengairan utama. Karena hanya mengandalkan air hujan, mereka tak bisa bertani
sepanjang tahun. Mereka hanya bercocok tanam dimusim penghujan dengan jenis
tanaman yang terbatas.
Biasanya pada awal musim para petani menanam jagung
di area-area yang lapang. Ada juga yang memilih melakukan sistem tumpang sari
seperti menanam jagung di ikuti kacang-kacangan atau mentimun dan singkong.
Untuk mereka yang menerapkan tumpang sari ini biasanya melakukan satu kali
tanam saja dalam setahun. Bagi mereka yang hanya menanam jagung, biasanya
setelah panen akan melakukan penanaman bibit kembali entah itu jagung, kacang
tanah, atau jenis tanaman rambat seperti timun dan kacang merah.
Namun dalam kurun waktu tiga tahun belakangan,
sistem pertanian yang biasa diterapkan ini mulai tak efektif. Jagung yang
biasanya tumbuh subur seringkali gagal panen. Kadang karena hujan yang turun
tak tentu hingga tanaman menjadi layu atau karena hujan disertai angin kencang
yang membuat tanaman tumbang saat masih berbunga. Bahkan yang paling parah
adalah buah jagung yang tumbuh kecil atau bahkan gagal berbuah.
Semua hal tersebut mulai membuat petani prustasi.
Alih-alih mendapat pendapatan dari mengolah tanah malah berbalik merugikan
mereka. Harga pupuk yang terus naik dan juga pajak bumi yang mulai merangkak
kian menambah keinginan mereka untuk berhenti mengolah tanah. Beberapa dari
mereka mulai mencari pekerjaan sebagai buruh dan menanami tanah mereka dengan
tanaman-tanaman tahunan seperti jati atau jambu mete sebagai bentuk investasi
jangka panjang. Namun yang paling disayangkan adalah mereka yang mulai menjual
tanahnya hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Lalu apakah tak ada kepedulian dari pemerintah?
Jawabannya ada, namun entah kenapa hasilnya tak maksimal. Dalam hal tanaman,
pernah diberi bantuan berupa bibit seperti jambu mete, sukun, melinjo dan sawo,
namun sayang yang nampak hasilnya hanya jamu mete itupun hanya dibeberapa titik
saja. Proyek penanaman kapas yang bibit dan pupuknya ditanggung juga pernah
diberikan, hasilnya dirasa lumayan karena memang tak terbebani oleh biaya pupuk
dan bibit. Namun itu tak lagi berlanjut.
Dalam hal pengairan, irigasi sudah diperbaiki dan
sempat mengalir air yang memberi harapan besar bagi masyarakat, namun hanya sesaat.
Kini irigasi yang telah direnovasi itu hanya menjadi saluran air untuk
menampung air hujan yang berlebih. Bahkan beberapa titik jebol dan merongrong
jalan disampingnya karena konstruksinya yang tak kuat. Maklum, pembangunan
masih tak terkontrol rapi, beberapa buruh proyek bahkan ada yang menjual semen
yang semestinya untuk mebangun irigasi ke warga.
Lalu sumur bor juga sudah dibuat untuk kepentingan
air bersih, namun entah mengapa setelah air keluar tak ada satupun pipa
terpasang untuk mengalirkan air ke rumah warga. Dengan semua keadaan tersebut,
memang terdengar pantas bagi warga untuk berhenti mengolah tanah dan mulai
mencari alternatif pekerjaan lain.
Tanah Indonesia memang subur. Negeri kita mendapat
julukan sebagai negara agraris, namun sampai kapan hal ini akan bertahan?
Bahkan sebagai negara agraris dengan luas daratan hampir dua juta kilometer
persegi, kita masih harus mengimpor beras dari negara lain.