loading...

Jumat, 16 Februari 2018

Negara Agraris, Secuil Fakta Petani Tadah Hujan


Indonesia, negara yang dikenal kaya akan sumber daya alamnya kini punya problematikanya sendiri. Sebagai negara yang mendapat sebutan negara agraris, bisa kita bayangkan betapa melimpahnya hasil pertanian Indonesia. Namun sudahkah hal tersebut benar-benar layak dan benar adanya? Sudahkah para petani memiliki kehidupan yang sejahtera?
Nyatanya, tak semua petani berkehidupan sejahtera. Bahkan banyak diantara mereka berada dalam area miskin. Tak jarang mereka menjual sepetak demi sepetak tanah garapan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang tak lagi dapat terpenuhi dari hasil pertanian.
Sedikit kisah para petani di Dusun Berawah, Desa Tukadsumaga, Kecamatan Gerokgak akan menunjukkan betapa miris keadaan pertanian Indonesia. Memang tak cukup untuk menggambarkan keseluruhan dari keadaan total pertanian Indonesia, namun cukup untuk mewakili kemerosotan yang terjadi.
Hingga saat ini, sebagian besar penduduk di dusun ini adalah petani tadah hujan yang hanya mengandalkan air hujan sebagai pengairan utama. Karena hanya mengandalkan air hujan, mereka tak bisa bertani sepanjang tahun. Mereka hanya bercocok tanam dimusim penghujan dengan jenis tanaman yang terbatas.
Biasanya pada awal musim para petani menanam jagung di area-area yang lapang. Ada juga yang memilih melakukan sistem tumpang sari seperti menanam jagung di ikuti kacang-kacangan atau mentimun dan singkong. Untuk mereka yang menerapkan tumpang sari ini biasanya melakukan satu kali tanam saja dalam setahun. Bagi mereka yang hanya menanam jagung, biasanya setelah panen akan melakukan penanaman bibit kembali entah itu jagung, kacang tanah, atau jenis tanaman rambat seperti timun dan kacang merah.
Namun dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, sistem pertanian yang biasa diterapkan ini mulai tak efektif. Jagung yang biasanya tumbuh subur seringkali gagal panen. Kadang karena hujan yang turun tak tentu hingga tanaman menjadi layu atau karena hujan disertai angin kencang yang membuat tanaman tumbang saat masih berbunga. Bahkan yang paling parah adalah buah jagung yang tumbuh kecil atau bahkan gagal berbuah.
Semua hal tersebut mulai membuat petani prustasi. Alih-alih mendapat pendapatan dari mengolah tanah malah berbalik merugikan mereka. Harga pupuk yang terus naik dan juga pajak bumi yang mulai merangkak kian menambah keinginan mereka untuk berhenti mengolah tanah. Beberapa dari mereka mulai mencari pekerjaan sebagai buruh dan menanami tanah mereka dengan tanaman-tanaman tahunan seperti jati atau jambu mete sebagai bentuk investasi jangka panjang. Namun yang paling disayangkan adalah mereka yang mulai menjual tanahnya hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Lalu apakah tak ada kepedulian dari pemerintah? Jawabannya ada, namun entah kenapa hasilnya tak maksimal. Dalam hal tanaman, pernah diberi bantuan berupa bibit seperti jambu mete, sukun, melinjo dan sawo, namun sayang yang nampak hasilnya hanya jamu mete itupun hanya dibeberapa titik saja. Proyek penanaman kapas yang bibit dan pupuknya ditanggung juga pernah diberikan, hasilnya dirasa lumayan karena memang tak terbebani oleh biaya pupuk dan bibit. Namun itu tak lagi berlanjut.
Dalam hal pengairan, irigasi sudah diperbaiki dan sempat mengalir air yang memberi harapan besar bagi masyarakat, namun hanya sesaat. Kini irigasi yang telah direnovasi itu hanya menjadi saluran air untuk menampung air hujan yang berlebih. Bahkan beberapa titik jebol dan merongrong jalan disampingnya karena konstruksinya yang tak kuat. Maklum, pembangunan masih tak terkontrol rapi, beberapa buruh proyek bahkan ada yang menjual semen yang semestinya untuk mebangun irigasi ke warga.
Lalu sumur bor juga sudah dibuat untuk kepentingan air bersih, namun entah mengapa setelah air keluar tak ada satupun pipa terpasang untuk mengalirkan air ke rumah warga. Dengan semua keadaan tersebut, memang terdengar pantas bagi warga untuk berhenti mengolah tanah dan mulai mencari alternatif pekerjaan lain.

Tanah Indonesia memang subur. Negeri kita mendapat julukan sebagai negara agraris, namun sampai kapan hal ini akan bertahan? Bahkan sebagai negara agraris dengan luas daratan hampir dua juta kilometer persegi, kita masih harus mengimpor beras dari negara lain.

Senin, 05 Februari 2018

“Penting Gak Gue Sama Lu”, Kisah Politikus Dan Jalan Becek


Dikisahkan disebuah dusun terpencil disebuah desa yang cukup luas, ada sebuah jalan yang menghubungkan desa dengan desa tetangga. Jalan ini juga mengitari dusun secara menyeluruh. Lokasinya yang berada jauh dari jantung dusun membuatnya tak mendapat perhatian yang serius. Kondisinya menyedihkan. Selalu becek tiap musim hujan dan berdebu saat musim kemarau. Batu dan kerikil lepas siap menjatuhkan pengendara motor yang melamun mengingat kenangan bersama mantan.

Sebenarnya ada program betonisasi yang sudah masuk ke pelosok-pelosok, namun entah kenapa jalan ini belum mendapat jatah. Padahal jalan di jantung dusun yang terbilang sudah cukup bagus mendapat polesan lagi. Sudah diaspal dan masih cukup layak eh malah dapat polesan beton lagi, kan bikin ngiri.

Pernah dalam suasana pemilihan pemimpin yang sering disebut sebagai pesta rakyat, ada antek-antek politikus masuk dusun. Janjinya sih bakal ngasih bantuan buat si jalan biar makin mulus. Katanya bakal dimasukin dalam program dan masyarakat diminta tenang. Tapi yah gitu, udah kepilih si jalan masih becek. Untung aja rakyatnya baik-baik dan mau ngurusin si jalan, ya seenggaknya dibenerinlah meski seadanya aja.
Suatu hari disaat ada kericuhan lagi diranah perpolitikan, seorang politikus masuk lagi. Disitu si  jalan mulai berharap dan harapannya makin terasa bakal jadi nyata ketika antek-antek politikus melakukan pengukuran jalan. Semoga saja tak kena PHP lagi.

“hay pak politikus, kali ini benar kan saya bakal di betonin? Kasian lo pengguna saya disini. Mereka harus selalu berurusan dengan lumpur saat musim hujan, saya menjadi sangat licin dan berbahaya. Apalagi kalau yang melintas adalah mereka yang jomblo dan masih terjebak dalam kenangan bersama mantan, sering ngelamun dan kepleset.” Terang jalan kepada sang politikus

“tenanglah wahai jalan, saat aku menjadi pemimpin nanti, kau akan menjadi bagus, cemerlang bersinar dan siap menopang para jomblo yang terjebak kenangan mantan itu. Kau akan menjadi idola untuk mereka. Tapi bersabarlah sedikit, aku berjanji kau pasti akan menjadi lebih baik”, jawab politikus dengan gagahnya.

“terimakasih wahai politikus. Aku sebenarnya tak mengapa jika becek, licin dan berdebu serta dipenuhi batu dan kerikil lepas, aku hanya kasian pada mereka yang melintasiku. Aku sendiri tak pernah mengeluh dengan keadaanku, tapi mereka begitu prustasi. Bahkan ada dari mereka yang sampai berkoar-koar di sosial media memperlihatkan keadaanku yang becek penuh lumpur. Ya walau hanya berkoar di sosmed saja sih pak sabil pamer motor, gak mau bener ngurusin saya”, kata jalan lagi menambah penjelasan tentang keadaannya.

“hahahaha.... tenanglah. Aku berjanji padamu wahai jalan yang terlantar. Tak akan lama lagi kamu akan jadi kebanggaan. Nanti kamu akan di posting lagi di sosmed  dengan caption yang beda dari biasanya. “akhirnya aku bisa melamun dan mengenang mantan dengan tenang”, itulah yang akan para jomblo katakan disosmed saat memposting tentang dirimu lagi. Jadi bersiaplah wahai jalan yang ditelantarkan”, begitulah mulut politikus berkata dengan meyakinkan sehingga si jalan menjadi tenang.

“baiklah pak politikus, saya percayakan keadaan saya pada bapak. Saya harap bapak segera merealisasikan janji bapak dan aspirasi para masyarakat disini”, tutup si jalan untuk perpisahannya dengan sang politikus. Politikus pun bergegas pergi setelah antek-anteknya selesai melakukan pengukuran jalan. Dalam perjalananya sang politikus menggerutu, “PENTING GAK GUE SAMA LU, GUE GAK PERNAH LEWAT SINI NGAPAIN GUE BENERIN LU, MENDING GUE BENERIN YANG DEKET RUMAH GUE BIAR MOBIL GUE JALANNYA MULUS”.

Akhirnya sang politikus benar terpilih menjadi pemimpin. Dalam masa jabatannya yang sudah enam bulan lebih, si jalan masih becek berlumpur saat musim hujan sampai-sampai abang-abang tukang bakso tak berani lagi melintasinya.