Aku Dan Pemulung
Siang ini udara serasa panas. Mentari bersinar terang menyilaukan mata
yang melihatnya. Langit bersih, hamper tak ada awan menyelimuti. Debu di
pinggiran jalan beraspal juga sudah mulai beterbangan. Ini akhir April, memang
sudah dalam musim peralihan dari musim hujan ke kemarau, jadi wajar saja kalau
dunia mulai panas. Walau begitu, jika di banding tahun-tahun sebelumnya, memang
tahun ini jauh lebih panas. Mungkin ini efek dari global warming yang banyak dibicarakan orang.
Aku Giyo, seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta di Denpasar. Aku
baru bekerja enam bulan. Gajiku sudah masuk nominal ‘jutaan’, lumayanlah untuk
orang kampung yang jarang pegang uang jutaan.
Enam bulan aku bekerja, aku masih belum tau statusku di perusahaan, masih
dianggap training atau sudah karyawan tetap. Awal interview kesepakatan
tiga bulan masa training lalu melihat
kinerja untuk kontrak selanjutnya, namun sama sekali tak ada tindak lanjut atas
hal itu. Aku sendiri juga malas memperhitungkan hal tersebut. Sudahlah, tak
terlalu penting, jika memang tak respect
apa mau dikata, yang penting penting aku masih sanggup hidup walau harus super
hemat.
Hari ini job sepi. Tak tau coustumer pada kemana. Aku nikmati
waktuku dengan browsing internet serta mengobrak-abrik akun facebookku. Ya. . . sekedar iseng
gangguin teman-teman dunia mayaku. Dalam ruangan berAC, aku duduk membaca baris
demi baris kiriman teman-temanku di facebook.
Sempat iseng juga melakukan search facebook
mantan, sekedar ingin tau kabarnya,
namun tak banyak kiriman yang ku jumpai. Mungkin memang sedang off atau memang aku tak ada ijin untuk
melihat pembaruan kirimannya.
Sekitar satu jam aku duduk, sudah terasa membosankan. Mendengar ramai
kicau anak magang juga tak membuatku ikut larut dalam keceriaan mereka.
Kuputuskan untuk keluar sejenak, sekedar melihat kendaraan yang lalu lalang di
jalanan serta menjauh dari udara yang lekat dengan bau tinta mesin printing yang setiap harinya ku hirup.
Aku sedikit berjalan keluar area tempat kerjaku, bising deru kendaraan bermotor
merangsek ke telingaku. Mataku juga dibuat kesal oleh debu-debu yang
beterbangan mengotori mataku.
Aku berjalan lebih jauh menuju areal belakang, tempatku dan orang-orang
sekitar menitipkan sampah-sampah untuk nantinya diangkut oleh petugas
kebersihan. Di sana Aku bertemu seorang lelaki kurus namun bertubuh cukup kekar
sedang mengais-ngais tempat dimana sampah dikumpulkan. Penampilannya lusuh,
terlihat kotor dengan pakaian yang seperti jarang dicuci. Dengan sebuah tongkat
bamboo yang di ujungnya disambung dengan sebuah besi berkait, ia memindahkan
sampah-sampah plastik ke gerobaknya.
Aku mencoba menghampirinya, mencoba ramah bertegur sapa, namun masih menjaga
jarak. “pak, cari rongsokan pak ya??”. Ku lihat dia sedikit kaget, lalu
memandang ke arahku. Dengan senyuman kecil dia menjawab pertanyaanku,”ia mas”,
sambil melanjutkan pekerjaannya. Aku merasa sedikit mengganggu, namun entah apa
yang aku pikirkan, aku masih ingin bertanya banyak pada pemulung itu.
“kertas-kertas bekas diambil juga pak? Aku ada di dalam banyak, mau aku
ambilkan?”, tanyaku padanya lagi. “boleh mas, kalo ada vinyl bekas juga saya ambil mas” jawabnya masih dengan senyum
kecilnya yang ramah. “sebentar ya pak saya ambilin dulu”, jawabku sembari
berjalan mengambil kertas bekas plastik laminasi
dan vinyl-vinyl bekas yang tak
terpakai. Setelah kuambil semua, aku segera kembali ke belakang untuk
menyerahkannya kepada pemulung. “ini Pak”, kataku sambil memberikan apa yang
kubawa. Ia menggantungkan tongkat berkaitnya ke gerobak lalu dengan sigap
mengambil vinyl serta kertas-kertas
yang ku bawa dengan kedua tangannya. “makasi yam as, banyak nih”. “Ia Pak,
sama-sama. Ngomong-ngomong pak asalnya dari mana? Asli daerah sini?”. “saya
dari Jawa mas, tapi udah lama tinggal di Bali sama istri dan anak-anak”
jawabnya sambil menata ulang barang-barang bekas di gerobaknya. “owh,
kerjaan sehari-hari cuma cari barang bekas aja pak? Terus istri dan anak-anak
gimana?” aku mulai bertanya tentang kehidupannya. Ia berhenti sejenak. Berdiri
tegap lalu memandang ke arahku. “ia mas, istri ngurus rumah aja, paginya jualan
nasi bungkus, kalo sempat juga ikut cari rongsokan mas. Anak yang pertama
sekolah SMP, yang kedua paling kecil baru SD kelas 4”.
Mendengar jawabannya, aku berpikir tentang berapa pendapatannya, apakah
sampai ‘jutaan’???. Aku sedikit malu bertanya itu, takut membuatnya
tersinggung, tapi penasaranku tak mau diajak diam. “wah, hebat. Emang biasanya
dapat berapa jualan pak?? Bisa cukup buat anak sekolah”. Pemulung itu kembali
tersenyum. Sambil kembali mengais sampah dia menjawab pertanyaanku dengan
rendah hati. “ya cukupin sajalah mas, yang penting udah makan, anak-anak juga
sudah ngerti jadi gak terlalu boros dan kadang mereka juga bantu. Jualannya gak
tentu mas, kadang kalo dapat banyak sehari bisa seratus tapi kadang juga gak
dapat mas, nunggu dua atau tiga hari ngumpulin baru bisa jual”. Mendengar
jawabannya aku kembali menimbulkan Tanya dalam benakku,”kalau gak dapat jualan
uangnya dari mana pak???”. “ya dari uang kemarin-kemarin, kalo abis banget saya
minjem sama tetangga mas”. Mendengar jawabannya aku diam,“Wah, sama saja
denganku, gak ada uang kasbon dikantor” Pikirku.
Aku memandangi langkah kakinya yang hanya mengenakan sandal jepit bekas
yang berbeda jenis untuk kanan kirinya. Kakinya tak peduli betapa menjijikan
sampah yang diinjaknya. Kulihat juga tangannya begitu berani mengambil satu
demi satu botol plastik dan barang-barang bekas yang bisa ia jual. “mas kerja di sini??”, tanyanya
mengagetkanku. “oh.. iya mas,, ya kerja buat idup ajalah mas, sama juga biar
cukup buat makan”. “ya mas syukurin aja, udah bagus kerja gak panes-panesan,
gak kotor mas”. “ia sih mas” jawabku singkat tanpa bisa berpikir banyak.
Mendengar kata-katanya membuatku berpikir lebih jauh membandingkan pekerjaanku
dengan pekerjaannya. “aku bekerja dengan gaji bulanan merasa kurang dan bahkan
memang kekurangan, tapi dia bisa hidup membiayai sekolah dua anakanya serta
menanggung satu orang istri. Apa penghasilannya lebih besar dariku? Atau aku
yang terlalu boros?” tanyaku dalam hati.
“kak Giyo . . . ada yang mau cetak”, terdengar suara memanggilku. Aku berbalik, ternyata anak
magang yang sedang menjalani masa training.
“iya sebentar, terima saja filenya”, jawabku. “sudah dulu mas ya, semoga dapat
banyak hari ini”, kataku pada pemulung. “oh iya mas, terimakasih yam as”. “iya
sama-sama”. Aku melangkahkan kakiku bersiap kembali bekerja. Dengan sedikit
tersenyum kecil aku menyapa coustumerku.
“Selamat siang pak, ada yang bisa saya bantu?”.
***
Sepulang kerja aku kembali terpikir pemulung yang ku temui tadi siang.
“bagaimana rumahnya? Apakah bagus? Kehidupannya seperti apa?? Apa mungkin
penghasilannya besar seperti para pengemis yang katanya pendapatannya melebihi
para pegawai negeri golongan atas??? Dia bebas bekerja, tak terikat, tak ada bos,
tak jam kerja pagi. Dia bekerja untuk
dirinya sendiri, tapi pekerjaan mereka kasar, kotor. Apa aku bisa menjadi
sehebat mereka.??” Tanyaku dalam hati. Aku berangan-angan bisa membuka usaha
sendiri, walau kecil tapi cukup untuk hidup sederhana bersama istri dan
anak-anakku kelak.
Writer : Made Yogi Astra
Date : April, 29th 2014, 21:45 WITA (end no
editing)