loading...

Selasa, 29 April 2014

Kurang Gaji atau Kurang Hemat?

Aku Dan Pemulung


Siang ini udara serasa panas. Mentari bersinar terang menyilaukan mata yang melihatnya. Langit bersih, hamper tak ada awan menyelimuti. Debu di pinggiran jalan beraspal juga sudah mulai beterbangan. Ini akhir April, memang sudah dalam musim peralihan dari musim hujan ke kemarau, jadi wajar saja kalau dunia mulai panas. Walau begitu, jika di banding tahun-tahun sebelumnya, memang tahun ini jauh lebih panas. Mungkin ini efek dari global warming yang banyak dibicarakan orang.
Aku Giyo, seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta di Denpasar. Aku baru bekerja enam bulan. Gajiku sudah masuk nominal ‘jutaan’, lumayanlah untuk orang kampung yang jarang pegang uang jutaan. Enam bulan aku bekerja, aku masih belum tau statusku di perusahaan, masih dianggap training  atau sudah karyawan tetap. Awal interview kesepakatan tiga bulan masa training lalu melihat kinerja untuk kontrak selanjutnya, namun sama sekali tak ada tindak lanjut atas hal itu. Aku sendiri juga malas memperhitungkan hal tersebut. Sudahlah, tak terlalu penting, jika memang tak respect apa mau dikata, yang penting penting aku masih sanggup hidup walau harus super hemat.
Hari ini job sepi. Tak tau coustumer pada kemana. Aku nikmati waktuku dengan browsing internet serta mengobrak-abrik akun facebookku. Ya. . . sekedar iseng gangguin teman-teman dunia mayaku. Dalam ruangan berAC, aku duduk membaca baris demi baris kiriman teman-temanku di facebook. Sempat iseng juga melakukan search facebook  mantan, sekedar ingin tau kabarnya, namun tak banyak kiriman yang ku jumpai. Mungkin memang sedang off atau memang aku tak ada ijin untuk melihat pembaruan kirimannya.
Sekitar satu jam aku duduk, sudah terasa membosankan. Mendengar ramai kicau anak magang juga tak membuatku ikut larut dalam keceriaan mereka. Kuputuskan untuk keluar sejenak, sekedar melihat kendaraan yang lalu lalang di jalanan serta menjauh dari udara yang lekat dengan bau tinta mesin printing yang setiap harinya ku hirup. Aku sedikit berjalan keluar area tempat kerjaku, bising deru kendaraan bermotor merangsek ke telingaku. Mataku juga dibuat kesal oleh debu-debu yang beterbangan mengotori mataku.
Aku berjalan lebih jauh menuju areal belakang, tempatku dan orang-orang sekitar menitipkan sampah-sampah untuk nantinya diangkut oleh petugas kebersihan. Di sana Aku bertemu seorang lelaki kurus namun bertubuh cukup kekar sedang mengais-ngais tempat dimana sampah dikumpulkan. Penampilannya lusuh, terlihat kotor dengan pakaian yang seperti jarang dicuci. Dengan sebuah tongkat bamboo yang di ujungnya disambung dengan sebuah besi berkait, ia memindahkan sampah-sampah plastik ke gerobaknya.
Aku mencoba menghampirinya, mencoba ramah bertegur sapa, namun masih menjaga jarak. “pak, cari rongsokan pak ya??”. Ku lihat dia sedikit kaget, lalu memandang ke arahku. Dengan senyuman kecil dia menjawab pertanyaanku,”ia mas”, sambil melanjutkan pekerjaannya. Aku merasa sedikit mengganggu, namun entah apa yang aku pikirkan, aku masih ingin bertanya banyak pada pemulung itu. “kertas-kertas bekas diambil juga pak? Aku ada di dalam banyak, mau aku ambilkan?”, tanyaku padanya lagi. “boleh mas, kalo ada vinyl bekas juga saya ambil mas” jawabnya masih dengan senyum kecilnya yang ramah. “sebentar ya pak saya ambilin dulu”, jawabku sembari berjalan mengambil kertas bekas plastik laminasi dan vinyl-vinyl bekas yang tak terpakai. Setelah kuambil semua, aku segera kembali ke belakang untuk menyerahkannya kepada pemulung. “ini Pak”, kataku sambil memberikan apa yang kubawa. Ia menggantungkan tongkat berkaitnya ke gerobak lalu dengan sigap mengambil vinyl serta kertas-kertas yang ku bawa dengan kedua tangannya. “makasi yam as, banyak nih”. “Ia Pak, sama-sama. Ngomong-ngomong pak asalnya dari mana? Asli daerah sini?”. “saya dari Jawa mas, tapi udah lama tinggal di Bali sama istri dan anak-anak” jawabnya sambil menata ulang  barang-barang bekas di gerobaknya. “owh, kerjaan sehari-hari cuma cari barang bekas aja pak? Terus istri dan anak-anak gimana?” aku mulai bertanya tentang kehidupannya. Ia berhenti sejenak. Berdiri tegap lalu memandang ke arahku. “ia mas, istri ngurus rumah aja, paginya jualan nasi bungkus, kalo sempat juga ikut cari rongsokan mas. Anak yang pertama sekolah SMP, yang kedua paling kecil baru SD kelas 4”.
Mendengar jawabannya, aku berpikir tentang berapa pendapatannya, apakah sampai ‘jutaan’???. Aku sedikit malu bertanya itu, takut membuatnya tersinggung, tapi penasaranku tak mau diajak diam. “wah, hebat. Emang biasanya dapat berapa jualan pak?? Bisa cukup buat anak sekolah”. Pemulung itu kembali tersenyum. Sambil kembali mengais sampah dia menjawab pertanyaanku dengan rendah hati. “ya cukupin sajalah mas, yang penting udah makan, anak-anak juga sudah ngerti jadi gak terlalu boros dan kadang mereka juga bantu. Jualannya gak tentu mas, kadang kalo dapat banyak sehari bisa seratus tapi kadang juga gak dapat mas, nunggu dua atau tiga hari ngumpulin baru bisa jual”. Mendengar jawabannya aku kembali menimbulkan Tanya dalam benakku,”kalau gak dapat jualan uangnya dari mana pak???”. “ya dari uang kemarin-kemarin, kalo abis banget saya minjem sama tetangga mas”. Mendengar jawabannya aku diam,“Wah, sama saja denganku, gak ada uang kasbon dikantor” Pikirku.
Aku memandangi langkah kakinya yang hanya mengenakan sandal jepit bekas yang berbeda jenis untuk kanan kirinya. Kakinya tak peduli betapa menjijikan sampah yang diinjaknya. Kulihat juga tangannya begitu berani mengambil satu demi satu botol plastik dan barang-barang bekas yang  bisa ia jual. “mas kerja di sini??”, tanyanya mengagetkanku. “oh.. iya mas,, ya kerja buat idup ajalah mas, sama juga biar cukup buat makan”. “ya mas syukurin aja, udah bagus kerja gak panes-panesan, gak kotor mas”. “ia sih mas” jawabku singkat tanpa bisa berpikir banyak. Mendengar kata-katanya membuatku berpikir lebih jauh membandingkan pekerjaanku dengan pekerjaannya. “aku bekerja dengan gaji bulanan merasa kurang dan bahkan memang kekurangan, tapi dia bisa hidup membiayai sekolah dua anakanya serta menanggung satu orang istri. Apa penghasilannya lebih besar dariku? Atau aku yang terlalu boros?” tanyaku dalam hati.
“kak Giyo . . . ada yang mau cetak”, terdengar suara  memanggilku. Aku berbalik, ternyata anak magang yang sedang menjalani masa training. “iya sebentar, terima saja filenya”, jawabku. “sudah dulu mas ya, semoga dapat banyak hari ini”, kataku pada pemulung. “oh iya mas, terimakasih yam as”. “iya sama-sama”. Aku melangkahkan kakiku bersiap kembali bekerja. Dengan sedikit tersenyum kecil aku menyapa coustumerku. “Selamat siang pak, ada yang bisa saya bantu?”.
***
Sepulang kerja aku kembali terpikir pemulung yang ku temui tadi siang. “bagaimana rumahnya? Apakah bagus? Kehidupannya seperti apa?? Apa mungkin penghasilannya besar seperti para pengemis yang katanya pendapatannya melebihi para pegawai negeri golongan atas??? Dia bebas bekerja, tak terikat, tak ada bos, tak  jam kerja pagi. Dia bekerja untuk dirinya sendiri, tapi pekerjaan mereka kasar, kotor. Apa aku bisa menjadi sehebat mereka.??” Tanyaku dalam hati. Aku berangan-angan bisa membuka usaha sendiri, walau kecil tapi cukup untuk hidup sederhana bersama istri dan anak-anakku kelak.

Writer : Made Yogi Astra
Date : April, 29th 2014, 21:45 WITA (end no editing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar