Hidup didunia memang penuh dilema. Apalagi terlahir sebagai seorang wanita yang beranjak menuju ke kedewasaan. Ini hanya secuil kisah yang tersuratkan.
Namaku Arik, seorang wanita umur 23 tahun yang masih setia melayani sebuah perusahaan waralaba kenamaan di Indonesia. Untuk keuangan, dengan statusku yang masih belum berumah tangga, gajiku cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Namun ceritaku kali ini bukan tentang keuangan, tapi tentang kisah asmara yang merujuk pada kedewasaan.
Diusiaku yang sekarang, aku sadar tak boleh lagi bermain-main. Beberapa kali aku menjalin kasih dengan pria-pria yang diawal memang menyenangkan dan sangat masuk kriteriaku. Namun semua kandas, entah karena perselingkuhan, ketidak cocokan, atau karena halangan dari orang tua. Dari beberapa kisahku, aku paling mengingat satu yang sebenarnya begitu menyenangkan tapi menyesakkan. Di mulai enam bulan lalu, aku digoda seorang pria tampan saat aku sedang dalam tugas kerjaku. Tanpa basa-basi pria tersebut meminta nomer handphoneku. Akupun memberikannya dan menjadi akrab dengannya. Dari percakapan Whatsapp aku tau namanya Ridwan. Dia seorang manajer di sebuah hotel bintang tiga di daerah Seminyak. Dia juga memiliki sebuah usaha kuliner di Singaraja.
Sebulan kami becakap di Whatsapp membuat kami makin akrab. Kami juga sering melakukan video call dan saling menghibur. Beberapa kali dia mengunjungiku ke tempat kerjaku. Dia begitu perhatian, dia pengertian dan juga dewasa. Dari segi finasial dia termasuk mapan. Wajahnya juga tampan dengan fostur tubuh yang ideal. Tak salah jika aku jatuh hati padanya.
Bulan kedua, kami mulai saling membuat janji untuk jalan bersama diwaktu senggang kami. Entah sekedar menikmati kuliner jalanan, menikmati senja di pantai, atau karaokean bareng di bar. Hari-hari menjadi begitu indah bagiku dan mungkin juga bagi Ridwan. Di awal bulan ketiga, dia mengajakku pacaran. Oh my God, itu benar-benar surprise membahagiakan untukku. Aku langsung menerimanya.
Hari-hari semakin menyenangkan. Kami semakin banyak menghabiskan waktu bersama. Dia sering mengantar jemputku ke tempat kerja. Dia juga mulai mengenalkanku ke keluarganya. Dia punya seorang adik wanita yang masih kuliah semester dua. Ayahnya seorang pebisnis, memiliki saham di beberapa gruop perusahaan besar kenamaan di Bali. Ibunya seorang sosialita penuh glamoure yang juga mengelola sebuah cafe di daerah Kuta. Dengan semua itu, tentu aku kini berbalik minder karena aku hanya seorang kasir di perusahaan waralaba.
Semakin hari semakin sering aku diajak kerumahnya. Jika aku kerja pagi aku kadang menginap disana. Aku menjadi sangat akrab dengan adik ridwan. Kami mulai saling berbagi cerita. Namun ada cerita mengejutkan yang aku dengar dari adik Ridwan, dia ingin segera keluar dari keluarganya yang serba berkecukupan iru. Alasannya sederhana, dia tak kuat dengan tekanan orang tuanya. Di dalam sebuah rumah bak istana itu ternyata dia seperti seorang babu. Membersihkan rumah, memasak, mencuci adalaha hal wajib untuknya disela-sela waktu kuliahnya. Dia juga menceritakan bagaimana posisi Ridwan di keluarganya. Semua yang aku kira dimiliki Ridwan ternyata masih dibawah kuasa orang tuanya. Kendaraan dan juga usaha kulinernya masih hak milik orang tuanya. Hotel tempatnya bekerja juga masih dibawah kendali salah satu group perusahaan ayahnya.
Semakin hari, semakin aku sering berada di rumah Ridwan semakin aku melihat kebenaran keluarga kaya ini. Ridwan begitu penurut, lalu adiknya meski dengan rasa terpaksa juga tetap menjadi babu kuliahan. Ayahnya yang mempunyai begitu banyak aset ternyata tak mau ambil pusing untuk membayar seorang asisten rumah tangga. Perintahnya adalah mutlak, tak menurut artinya bukan anak lagi. Aku mulai tak nyaman dengan semua yang kulihat. Apalagi semakin hari aku juga mulai di suruh ini itu, padahal aku dan Ridwan masih hanya pacaran.
Masuk bulan kelima, aku yang sebenarnya serius dengan hubungan kami mulai angkat bicara. Aku mengajak ridwan ke sebuah cafe di daerah Renon untuk membicarakan hubungan kami. Pembicaraan kami panjang, mulai dari hal ringan sampai tentang masa depan kami selanjutnya. Yang menjadi titik beratku adalah bagaimana nanti seandainya kami menikah. Aku ingin kami mandiri, bukan tinggal bersama orang tua lagi. Aku bukan tak menghargai orang tuanya, tapi aku ingin kami membangun rumah tangga kami sendiri. Namun Ridwan tak berani bilang iya. Dia tampak ragu saat membicarakan masalah ini. Dia seolah takut kehilangan segala apa yang dia lihat dan pakai saat ini.
"Sayang, nanti kalau nikah kita bikin rumah sendiri ya, jangan tinggal sama orang tuamu lagi" kataku. "Kenapa sayang?", tanya ridwan balik. "Aku mau kita mandiri. Aku bukan gak hormat sama orang tuamu, cuma aku ngerasa gak nyaman aja, kita sekarang baru pacaran tapi orang tuamu sudah gampang banget nyuruh aku ini itu. Jujur aku gak nyaman", aku mulai menjelaskan. "Emmm... Gimana ya, tapi aku anak laki satu-satunya. Aku harus jaga orang tua aku. Itu bangunan yang di sebelah selatan dibangun buat aku nanti tinggal", kata ridwan. "Ya tetep aja kita jadi tinggal satu pekarangan rumah juga dengan orang tuamu. Aku gak nyaman lo liat kamu di suruh ini itu. Ya wajar sih kalo kamu sayang sama orang tua, tapi masak ia bersih-bersih, nyuci, masak, nyiapin tempat tidur sampe makan pun diambilin? Kalo kita nikah terus adikmu yang ngelayanin orang tuamu sampe-sampe hampir gak punya waktu buat urus dirinya sendiri juga nikah, apa aku harus gantiin adikmu jadi babu di rumahmu? Aku gak maulah". Nada suaraku mulai meninggi dan menyita perhatian mata pengunjung cafe. Tapi Ridwan mencoba menenangkanku. "Iya sayang. Nanti aku ngomong dulu sama papa sama mama. Kalo di ijinin kita bikin rumah sendiri ya". Kata-katanya benar-benar tanpa keyakinan. Aku bisa melihat berjuta keraguan dimatanya. Tapi aku yang merasa menjadi pusat perhatian pengunjung cafe tak mau berdebat lagi dan memilih diam.
Semenjak itu hubungan kami merenggang. Aku jarang kerumahnya lagi. Dia juga tampak canggung saat bertemu denganku. Keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Hari-hari menyenangkan kami berubah jadi hari-hari yang dingin dan membosankan. Aku sering merindukan kesenangan kami, tapi rasa kesalku akan ketakutannya pada orang tuanya membuat aku tak ingin banyak bicara dengannya. Aku benar-benar marah akan sikapnya itu. Seringkali aku menolak tawarannya untuk mengantar dan menjemputku kerja.
Masih di bulan yang sama, dua minggu setelah perdebatan kami di cafe, kami kembali bertemu. Masing-masing dari kami berjalan sendiri-sendiri dan langsung bertemu di sebuah taman terbuka di Denpasar. Aku masih kesal dan tak mau bicara. Ridwan meminta maaf padaku tapi aku mendiamkannya. Dia mulai bicara panjang lebar menyambung apa yang kami bahas di cafe dua minggu lalu. Penjelasan yang panjang yang aku dengar namun tak memuaskan dan hanya membuat darahku makin panas. "Sayang, kamu masih ngambek ya. aku minta maaf. Aku udah bicara sama ortu aku cuma aku gak dikasih untuk mandiri. Aku bakal gak di anggap anak sama mereka kalo aku sampe ninggalin mereka. Aku udah berusaha ngeyakinin mereka kalau aku bakal tetep sayang sama mereka, tapi tetap aja gak di kasih. Aku sayang sama kamu, aku juga sayang sama mereka. Aku bingung harus gimana". Aku tak tahan lagi. Aku benar-benar pada klimaksku. "Kamu itu laki-laki. Aku tau kamu sayang sama orang tua kamu, tapi gak gitu-gitu amat. Aku perempuan! Kalo aku nikah kamu tau gak, aku juga ninggalin keluarga yang udah ngerawat aku, yang sayang sama aku, yang bahkan mau nyuruh aku aja masih nanya apa aku lelah, apa aku ada waktu. Kalo aku nikah aku juga ninggalin sanggah, aku mesti belajar adat keluargamu, itu semua gak gampang. Apa aku masih harus jadi babu juga buat orang tuamu? Aku ngebayangin aja udah gak tahan. Kalo kamu emang gak berani lepas dari keluargamu, mending kita putus! Aku lebih baik nikah sama orang yang gak kaya tapi mau mandiri bareng, memulai dari nol ketimbang harus hidup dibawah tekanan dan jadi babu dirumah mewah! Aku mending kerja, jelas jerih payahku dihargain daripada tampak seperti putri di istana megah tapi sehari-hari jadi pelayan! Maaf, aku gak bisa lanjutin hubungan kita. Terima kasih untuk segala yang udah kamu kasih selama ini".
Ya, hubungan kami berakhir hari itu. Aku bukan tak mencintainya, aku serius dengannya. Bahkan aku sering manghayal hidup bersamanya dan memiliku empat anak darinya. Kini aku menjalin hubungan dengan seorang pria biasa sesama karyawan di perusahaan yang sama. Dia dari keluarga sederhana yang kalah jauh jika dibandingkan dengan Ridwan dan keluarganya. Namun kesederhanaannya membuat dia menjadi seorang yang mandiri dan mampu berdiri sendiri diatas kedua kakinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar